Tidak ada dalil yang shorih (jelas)
mengenai larangan memotong rambut dan kuku semasa haid. Demikian pula
tentang wajibnya mencuci rambut dan kuku yang tidak sengaja rontok saat
haid, kami belum menemukan dalil eksplisitnya.
Yang wajib adalah mandi janabah dengan
meratakan air ke seluruh anggota badan setelah masa haid selesai. Adapun
rambut dan kuku yang sudah rontok sebelumnya, maka tidak wajib dicuci,
karena sudah bukan bagian dari badan kita saat melakukan mandi besar.
Rasulullah SAW membolehkan Ummul Mukminin Aisyah RA untuk mengurai dan menyisir rambutnya saat beliau (Aisyah) sedang mengalami masa haid. Padahal menyisir sangat memungkinkan tercabutnya rambut. Ini menunjukkan bolehnya wanita haidh memotong rambut dan kuku.
Rasulullah SAW membolehkan Ummul Mukminin Aisyah RA untuk mengurai dan menyisir rambutnya saat beliau (Aisyah) sedang mengalami masa haid. Padahal menyisir sangat memungkinkan tercabutnya rambut. Ini menunjukkan bolehnya wanita haidh memotong rambut dan kuku.
Berikut sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada `Aisyah radhiyallahu `anhaa ketika haji wada`:
انقضي رأسك وامتشطي وأهلي بالحج ودعي العمرة
“Uraikanlah rambutmu dan sisirlah, kemudian berniatlah untuk haji dan tinggalkan umrah” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari hadits di atas, maka dapat kita
pahami bahwa memotong rambut atau kuku saat haidh tidaklah dilarang.
Demikian pula apabila rambut dan kuku kita gugur tidak sengaja saat
haidh, maka tidak pula diwajibkan untuk ikut dicuci saat kita melakukan
mandi janabah.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
فالحائض
يجوز لها قص أظافرها ومشط رأسها ، ويجوز أن تغتسل من الجنابة …فهذا القول
الذي اشتهر عند بعض النساء من أنها لا تغتسل ولا تمتشط ولا تكد رأسها ولا
تقلم أظفارها ليس له أصل من الشريعة فيما أعلم
Artinya:
“Wanita yang haidh boleh memotong kukunya
dan menyisir rambutnya, dan boleh mandi junub, … pendapat yang dianut
oleh sebagian wanita bahwasanya wanita yang haidh tidak boleh mandi,
menyisir rambutnya, dan memotong rambutnya maka ini tidak ada asalnya
(dalilnya) di dalam syari’at, sebatas pengetahuan saya”
Adapun hadits
لا يقلمن أحد ظفراً ، ولا يقص شعراً ، إلا وَهوَ طاهر
“Janganlah sesiapa memotong kukunya dan menggunting rambut kecuali ketika ia suci”
Hadits ini adalah munkar dan maudhu’
(yakni palsu), tidak harus sekali-kali dijadikan hujjah (lihat; Syarah
Soheh al-Bukhari, oleh; Imam Ibnu Rajab)..
Dan ulama’ yang berpendapat dengan hal ini adalah Imam Ghazali. Wallahu a’lam.
Dalam Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah terdapat pertanyaan, “Ketika seorang sedang junub,
kemudian memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir rambutnya.
Apakah dia salam dalam hal ini? Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa
orang yang memotong rambutnya atau kukunya ketika junub maka semua
bagian tubuhnya ini akan kembali pada hari kiamat dan menuntut
pemiliknya untuk memandikannya, apakah ini benar?”
Syaikhul Islam memberi jawaban “Terdapat
hadis shahih dari Hudzifah dan Abu Hurairah radliallahu ‘anhuma, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang orang yang junub,
kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.’
Dalam shahih Al-Hakim, ada tambahan, ‘Baik ketika hidup maupun ketika
mati.’ Sementara itu, saya belum pernah mendengar adanya dalil syariat
yang memakruhkan potong kuku dan rambut, ketika junub. Bahkan
sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang masuk
islam untuk memotong rambutnya dan berkhitan. Beliau juga memerintahkan
orang yang masuk islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar
potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya
perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum
mandi…’” (Fatawa Al-Kubra, 1:275)
Dan ulama’ yang berpendapat dengan hal ini adalah Imam Ghazali. Wallahu a’lam.
Dan ulama’ yang berpendapat dengan hal ini adalah Imam Ghazali. Wallahu a’lam.
Adapun perbuatan yang haram dilakukan
oleh wanita yang sedang haid, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
Al-Quran dan As-sunnah antara lain adalah:
1. Shalat
Seorang wanita yang sedang mendapatkan
haid diharamkan untuk melakukan salat. Begitu juga mengqada` salat.
Sebab seorang wanita yang sedang mendapat haid telah gugur kewajibannya
untuk melakukan salat. Dalilnya adalah hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا: أنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ لَهَا
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ دَمَ الحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ
يُعْرَفُ، فَإِذا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاةِ، فَإِذا كَانَ
الآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ،
وَصَحَّحَهُ ابنُ حِبَّانَ وَالحَاكِمُ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Aisyah ra berkata, Fatimah binti Abi
Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda
kepadanya, Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang
keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka
berwudhu’lah dan lakukan shalat. .
Dari Aisyah ra. berkata, Di zaman
Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haid, lalu kami diperintahkan untuk
mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat. .
Selain itu juga ada hadis lainnya:
`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan salat.
2. Berwudu` atau Mandi
As Syafi`iyah dan al-Hanabilah mengatakan
bahwa `wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi
janabah. Maksudnya adalah bahwa seorang yang sedang mendapatkan haidh
dan darah masih mengalir, lalu berniat untuk bersuci dari hadats
besarnya itu dengan cara berwudhu’ atau mandi janabah, seolah-olah darah
haidhnya sudah selesai, padahal belum selesai.
Sedangkan mandi biasa dalam arti
membersihkan diri dari kuman, dengan menggunakan sabun, shampo dan
lainnya, tanpa berniat bersuci dari hadats besar, bukan merupakan
larangan.
3. Puasa
Wanita yang sedang mendapatkan haid
dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk
menggantikannya dihari yang lain.
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رضيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: أَلَيْسَ إِذا
حَاضَتِ المَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra. berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bukankah bila wanita mendapat hatdh, dia
tidak boleh shalat dan puasa?
4. Tawaf
Seorang wanita yang sedang mendapatkan
haid dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap
boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas
besar.
وَعَنْ عَائِشةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا
قَالَت: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه
وسلم: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوْفِي بِالبَيْتِ
حَتَّى تَطْهُرِي، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda, Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji
kecuali bertawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci.
5. Menyentuh mushaf dan Membawanya
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran:
لا يمسه إلا المطهرون
Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf Al-Quran
6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Kecuali dalam hati atau doa/zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.
`Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub`.
Namun ada pula pendapat yang membolehkan
wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan
takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam
membacanya tidak terlalu banyak.
Pendapat ini adalah pendapat Malik. Demikian disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal 133.
7. Masuk ke Masjid
Dari Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh.
8. Bersetubuh
Wanita yang sedang mendapat haid haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ
أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.
Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.
Sedangkan al-Hanabilah membolehkan
mencumbu wanita yang sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar
dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh
sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui
wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:
وَعَنْ أَنَسٍ رضيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
اليَهُودَ كَانت إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا،
فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: اصْنَعُوا كُلَّ شَىءٍ إِلاَّ
النِّكَاحَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ
`Dari Anas ra. bahwa orang Yahudi bisa
para wanita mereka mendapat haidh, tidak memberikan makanan. Rasulullah
SAW bersabda, Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan.
وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا
قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ،
فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyahra berkata, Rasulullah SAW
memerintahkan aku untuk memakain sarung, beliau mencumbuku sedangkan aku
dalam keadaan datang haidh.
Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang
haid ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari haid dan
selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai haid saja tetapi juga
mandinya. Sebab di dalam al-Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa
wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi
suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi
janabah, itu adalah pendapat al-Malikiyah dan as Syafi`iyah serta
al-Hanafiyah.
wallahu a’lam