BEGITU pentingnya masalah musyawarah dalam pandangan Islam sehingga satu
di antara 114 surat dalam AlQuran bernama “Assyura” artinya musyawarah.
Surat Assyura bersifat Makkiyah artinya Surat ini diturunkan di Mekkah
ketika kaum muslimin masih merupakan kelompok minoritas di tengah-tengah
kesombongan kaum musyrikin Quraisy yang mayoritas.
Ketika
menghadapi perang Badar, Rasul bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan
Anshar, setelah sepakat barulah Beliau dan pengikutnya menuju ke medan
perang. Setelah tiba di medan perang timbul musyawarah kedua. Para
sahabat semua tahu bahwa hal-hal yang berhubungan dengan ibadah murni
mereka akan taat dan patuh kepada perintah Rasullullah, namun sebaliknya
terhadap perintah yang bukan bersifat ibadah murni seperti “siasat
perang” misalnya mereka akan balik bertanya kepada Rasul. Demikian yang
dilakukan oleh Al Habbab Bin Al Munzir, ketika Rasullullah memerintahkan
berhenti para pasukan pada tempat yang jauh dari sumber air. Lalu
Habbab bertanya kepada Rasul: “Apakah perintah berhenti di tempat ini
datang dari Allah SWT yang tidak mungkin kami bantah atau perintah ini
hanyalah pendapat pribadi dalam rangka berperang dan siasat. Rasul
menjawab: ini semata-mata pendapat pribadi. Habbab berkata lagi: Kalau
begitu ya Rasullullah tempat ini tidak pantas sebagai tempat berhenti
pasukan, lebih baik kita berhenti yang dekat dengan sumber air sebelum
diduduki musuh. Rasul menjawab, pendapat Habbab sangat tepat, lalu Rasul
memerintahkan seluruh pasukan untu berpindah ke tempat yang ditunjuk
Habbab al Munzir.
Setelah perang Badar usai dan mendapat
kemenangan yang mampu menawan pasukan musuh sebanyak 70 orang, Rasul
bermusyawarah dengan para sahabat tentang perlakuan terhadap para
tawanan dengan pilihan; dibebaskan semuanya, dibunuh semuanya atau
diberikan kebebasan untuk menebus diri mereka. Tegasnya seluruh perintah
yang bukan wahyu dan yang menyangkut kepentingan orang banyak Rasul
berpesan: “Antum `alamu bi umuri dunyakum” (Kamu lebih mengetahui
tentang urusan dunia kamu).
Pelaksanan hasil musyawarah pula
dalam Alquran Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka
dalam urusan itu, maka apabila telah bulat hatimu, maka bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.”
Dengan perkataan lain bahwa apabila keputusan hasil musyawarah telah
disepakati maka dengan ketetapan hati keputusan itu harus dilaksanakan
dengan menyerahkan diri kepada Allah. Ironinya dalam kehidupan kita
meski keputusan telah diambil dengan kesepakatan bersama, namun tak
jarang hasilnya tidak berani dijalankan. Hal ini persis seperti
musyawarah tikus untuk mengetahui kedatangan kucing-musyawarah itu
digelar dengan satu kata putus yaitu dengan cara mengikat lonceng di
leher kucing. Namun ketika hasil musyawarah ini hendak dijalankan tidak
seekor pun para tikus yang bersedia mengikat lonceng di leher sang
kucing---tentunya sebuah keputusan yang sia-sia.
Untuk
mempertegas ayat di atas, kita ikuti musyawarah Rasullullah dalam
menghadapi perang Uhud. Rasul bermusyawarah dengan segenap pasukan
muslim untuk menetapkan apakah musuh dihadapi dalam kota atau diluar
kota. Rasul pribadi dan sebagian para sahabat berpendapat sebaiknya
musuh dihadapi di dalam kota. Sebaliknya sebagian yang lain dan
kebanyakan suara dari kalangan para pemuda berpendapat supaya musuh
dihadapi di luar kota, pendapat ini didukung oleh massa terbanyak.
Akhirnya Rasul memutuskan untuk melawan musuh di luar kota. Sesudah
Rasul memakai pakaian perang para pemuda yang membuat usul untuk
menghadapi musuh di luar kota mencabut usulnya dan mendukung pendapat
Rasul yaitu berperang di dalam kota dengan mempergunakan segala sumber
daya yang ada, fasilitas kota yang istilah sekarang sering disebut
dengan istilah “perang semesta”. Hal itu ditolak Rasul dengan
mengatakan: “Tidak layak bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian
perang lalu menanggalkannya kembali sebelum Allah memberi putusan
antara diri dan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan
kepadamu dan turutilah dia dan kemenangan pasti berpihak kepadamu selama
kamu tetap sabar”
Semua kita wajib melaksanakan semua ketetapan
yang telah diputuskan apa pun risikonya. Intinya adalah syura telah
menjadi dasar utama dalam pemerintahan sebuah negara, inilah dasar
politik pemerintahan dan masyarakat dalam perang dan damai. Dalam Surat
Asyura ayat 38 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang memperkenankan
perintah Tuhan mereka dan mendirikan shalat dan segala urusan mereka dan
bermusyawarahlah diantara mereka dan mereka menginfaqkan apa yang telah
kami berikan.”
Ayat ini memberi gambaran bahwa musyawarah pasti
timbul dengan adanya jamaah. Setiap muslim wajib menjunjung tinggi
panggilan Tuhannya lalu mengerjakan shalat bersama-sama. Mengerjakan
shalat berjamaah harus selalu diawali dengan musyawarah, terutama dalam
menetapkan imam yang memimpin shalat berjamaah, dan dengan sabar para
jamaah mau menginfaqkan hartanya untuk kemashlahatan.
Waktu di
Mekkah kaum Muslim merupakan kelompok kecil, maka timbullah musyawarah
dalam skala kecil, dan setelah di Madinah, umat Islam telah berubah
menjadi kelompok besar, maka timbullah musyawarah dalam skala besar,
masyarakat yang masih terbatas dalam kota Madinah musyawarah
dilaksanakan dalam Masjid Rasul. Rasul menganjurkan untuk terus
bermusyawarah-sampai kepada masyarakat paling kecil sekalipun seperti
sekelompok orang melakukan perjalanan untuk mengangkat seorang amir atau
ketua rombongan dengan musyawarah. Demikian pula dengan Khalifah
setelah Rasullullah mengangkat amir atau wali di wilayah Islam dengan
kewajiban antara lain menghidupkan kembali sistem aturan musyawarah ini.
Pertumbuhan
dan perkembangan musyawarah Islam hampir sama dengan pertumbuhan
demokrasi di kota-kota Yunani kuno di mana pemungutan suara dilakukan
secara langsung kemudian demokrasi itupun berkembang sesuai zaman dan
tempat, ruang dan waktu. Yang sangat penting perlu diketahui bahwa Rasul
tidak meninggalkan wasiat yang rinci tentang sistem dan cara menyusun
serta melaksanakan demokrasi itu. Padahal dengan ilham Allah Rasul telah
mengetahui sepeninggal beliau Islam akan berkembang ke segenap penjuru
dunia. Allah dan Rasulnya tidak mengikat kita dengan salah satu sistem
demokrasi yang ada--karena sistem ini akan berkembang dan terus berubah.
Sebagai bahan perbandingan, bahwa Rasullullah SAW dalam bermusyawarah
telah memakai Menteri utama yaitu Abubakar dan Umar Bin Ibn Khattab dan
Menteri utama tingkat dua yaitu usman Ibn Affan dan Ali Bin Abi
Thalib--kemudian ada Menteri berenam: Saad bin Abi Waqqas, Abu Ubaidah,
Zubair bin Awwan, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman Bin Auf dan Said
bin Al-ash.
Dengan demikian, karena Islam tidak mengikat dengan
salah satu sistem demokrasi maka masing-masing masyarakat Muslim bebas
memilih sistem apa yang paling sesuai dengan masyarakatnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)